Pemanfaatan kawasan mangrove untuk
kegiatan perikanan seperti pembukaan tambak sering kali tidak memperhatikan
aspek kelestarian mangrove itu sendiri. Salah satu cara untuk menangani hal
tersebut adalah dengan suatu konsep pemanfaatan kawasan mangrove berbasis
konservasi yang disebut dengan sistem silvofishery. Umumnya pada silvofishery,
perbandingan antara mangrove dan tambak adalah 4 : 1. Sedangkan untuk upaya
peningkatan produktivitas dengan sistem silvofishery perbandingan
mangrove dan tambak dapat dibuat 3 : 2, tetapi jika perbandingan tambak
terhadap mangrove diperbesar lagi maka konsep pemanfaatan mangrove
berbasis konservasi tidak dapat tercapai.
Silvofishery merupakan kegiatan terpadu dan berkelanjutan antara upaya
pengelolaan kawasan mangrove yang dibarengi dengan usaha tambak atau budidaya
ikan karena fungsi mangrove sebagai nursery ground. Silvofishery
dipercaya sebagai bentuk optimalisasi pemanfaatan kawasan mangrove
yang menguntungkan, selain menjaga kelestarian kawasan mangrove juga
optimalisasi kawasan mangrove sebagai nursery ground untuk
meningkatkan produksi perikanan. Input bahan organik pada silvofishery
lebih besar jika dibandingkan dengan tambak konvensional .
Jenis biota yang yang tepat
untuk dibudidayakan bersama dengan mangrove antara lain ikan bandeng, kakap,
kerapu, kepiting bakau, kepiting soka, udang windu dan udang vanamei. Sampai
saat ini jenis mangrove yang diketahui dapat bersimbiosis dengan tambak untuk
dibuat silvofishery yaitu jenis Rhizophora sp., Avicennia sp. dan
Nypha fruticans, sedangkan untuk jenis mangrove lainnya masih perlu
penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Dalam silvofishery terdapat
tiga model atau pola penataan antara tanaman mangrove dan tambak, yaitu pola
empang parit, komplangan, dan jalur.
Pada pola empang parit, desain
tambak dan mangrove terdapat dalam satu tempat. Pola empang parit di bentuk
pada kawasan mangrove yang kemudian dibuat saluran-saluran air (parit) yang
mengelilingi mangrove. Desain tambak dan mangrove pada pola ini paling
sederhana dibandingkan pola yang lain. Selain itu biaya pemeliharaan tidak
terlalu besar, karena pada pola ini cenderung dibiarkan secara alami sehingga
tidak terlalu membutuhkan pemeliharaan atau perawatan khusus. Pemeliharaan ikan
atau udang dilakukan dalam keramba yang kemudian dibenamkan dalam parit yang
telah dibuat.
Desain tambak berselang-seling dan
terpisah dari tanaman mangrove terdapat pada pola komplangan. Tambak bisa
berada di depan kawasan mangrove atau di belakang kawasan mangrove. Area tambak
dan mangrove dipisahkan oleh pematang yang dilengkapi dengan pintu air untuk
keluar masuknya air dari pasang surut air laut. Karena desainnya yang terpisah
dari mangrove, tambak pola komplangan ini mendapat sinar matahari cukup. Selain
itu proses pemanenan ikan mudah dilakukan karena tidak terhalang mangrove. Akan
tetapi pembentukan dan pemeliharaan sistem silvofishery pola komplangan
ini relatif memerlukan biaya yang besar.
Pola selanjutnya adalah pola jalur
yang merupakan modifikasi pola empang parit, yaitu terdapat penambahan
saluran-saluran (parit) di bagian tengah sebagai tambak. Jadi, pada pola ini
parit tidak hanya mengelilingi mangrove seperti pada empang parit.
Keuntungan dari adanya sistem silvofihery, yaitu produksi
perikanan dapat ditingkatkan, perawatan tambak dengan sistem silvofishery
relatif mudah dilakukan. Selain itu juga dapat menjaga kawasan mangrove yang
ada. Namun di sisi lain, keinginan penambak untuk mendapatkan produktivitas
yang tinggi dengan cara mebuat perbandingan tambak jauh lebih besar dari
mangrove dapat mengancam ekosistem mangrove. Sekilas hal tersebut dapat
meningkatkan produktivitas ikan, tetapi jika dipahami lebih jauh, hal tersebut
justru akan menurunkan produktivitas karena fungsi mangrove sebagai nursery
ground berkurang.
sumber : https://farming.id/silvofishery-pemanfaatan-kawasan-mangrove-berbasis-konservasi/